Sejarah GKI Coyudan
I. Lahirnya GKI Coyudan
Pada tahun 1933, berdirilah gereja Belanda pertama yang jemaatnya mayoritas orang-orang keturunan Tiong Hwa, gereja tersebut dinamakan Kie Tok Kauw Hwee. Lokasi gereja ini terletak di pusat kota, di daerah Sangkrah (sekarang bernama jl. Demangan no.2), gereja ini dekat dengan alun-alun Keraton Surakarta, Benteng Belanda, Balaikota, GPIB dan juga salah satu Stasiun Kereta Api (yang sekarang sudah tidak terlalu difungsikan) di kota Solo.
Selama kurang lebih 12 tahun, Kie Tok Kauw Hwee tumbuh dengan pesatnya di kota Solo, melayani Tuhan dan terus berkarya untuk menjadi saksi-Nya. Namun kurang lebih pada tahun 1944, beberapa anggota jemaat mengusulkan adanya pembaharuan di bidang pelayanan Perjamuan Kudus. Pada masa itu Perjamuan Kudus dilayankan dengan menggunakan beberapa piala besar (sekitar 6 buah) untuk anggur perjamuan dan diedarkan satu per satu ke jemaat dari depan sampai belakang. Beberapa jemaat tadi mengusulkan supaya dalam Perjamuan Kudus digunakan cawan-cawan kecil sehingga tiap jemaat yang mengikuti Sakramen tersebut masing-masing dapat menggunakan 1 cawan kecil. Usulan tersebut menimbulkan reaksi yang keras sehingga terbagi menjadi 2 golongan. Golongan yang menginginkan agar tetap memakai cara lama menggunakan alasan bahwa dalam satu jemaat hendaknya dipersekutukan menjadi 1 dengan cara salah satunya adalah satu Piala Perjamuan, seperti yang terdapat dalam Injil ketika Tuhan Yesus pada Perjamuan Malam yang terakhir menggunakan 1 piala saja. Sedangkan golongan yang menginginkan adanya pembaharuan juga memiliki alasan yang kuat, yaitu bahwa untuk saling mengasihi dapat dijalin dengan banyak cara dan tidak harus terwujud melalui 1 Piala Perjamuan, apalagi kalau dipikirkan secara cermat bukankah tiap gereja pada masa itu masing-masing memiliki pialanya sendiri-sendiri dengan demikian sebenarnya di seluruh penjuru bumi terdapat banyak piala dan itu bukan berarti pecahnya persekutuan umat Tuhan. Perbedaan pendapat ini makin lama makin kuat dan makin panas sehingga beberapa dari anggota jemaat yaitu sekitar 123 orang memutuskan untuk keluar dari Kie Tok Kauw Hwee dan membangun sebuah persekutuan baru yang bernama Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee. Perintisan gereja baru ini diawali pada tahun 1945 dengan meminjam gedung GKJ Joyodiningratan untuk melaksanakan kebaktiannya. Tak lama kemudian pada bulan November 1945, kebaktian dapat dipindahkan ke rumah keluarga Tan Ing Tjong, di daerah Jayengan.
II. Menjadi Bagian Dari Sinode GKI Jawa Tengah
Sinode Gereja Kristen Indonesia Jawa Tengah baru berdiri pada tanggal 8 Agustus 1945. Sehingga dapat dipastikan bahwa perselisihan yang terjadi dalam tubuh Kie Tok Kauw Hwee Solo tahun 1944 tersebut tidak dapat dicegah oleh Sinode karena pada masa tersebut Sinode Gereja Kristen Indonesia Jawa Tengah belum lahir. Namun demikian di Propinsi Jawa Tengah sudah terbentuk cikal bakal Sinode, yaitu adanya klasis-klasis gereja-gereja Kie Tok Kauw Hwee. Di Jawa Tengah bagian selatan terdapat Klasis Yogyakarta, dimana anggotanya meliputi gereja Kie Tok Kauw Hwee di Yogyakarta, Purworejo dan salah satunya di kota Solo, yaitu di daerah Sangkrah. Namun demikian perselisihan yang telah diceritakan di atas tidak dapat dihindari sehingga mengakibatkan terjadinya perpecahan. Secara otomatis ketika perpecahan terjadi maka gereja yang baru dibentuk yaitu Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee yang terletak di daerah Jayengan dianggap sebagai gereja yang memisahkan diri menjadi gereja yang lain dan bukan merupakan bagian dari gereja Kie Tok Kauw Hwee Klasis Yogyakarta. Namun demikian setelah melihat perkembangan yang pesat dari gereja ini, apalagi melihat segala pengajaran dan tata cara serta liturgi gereja yang ada, tidak menyimpang dari Firman Tuhan, maka gereja-gereja Klasis Yogyakarta mulai memikirkan cara untuk menyelesaikan perselisihan yang telah terjadi antara Kie Tok Kauw Hwee (Sangkrah) dan Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee (Jayengan). Perselisihan tersebut akhirnya dapat diselesaikan dalam Sidang Klasis Yogya ke VIII yang diselenggarakan di kota Magelang pada tanggal 11 – 14 Maret 1947. Pada saat itu pula Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee Jayengan diakui sebagai gereja cabang dari gereja induk atau gereja asal yaitu Kie Tok Kauw Hwee Sangkrah Solo dan terus dipersiapkan pendewasaannya pada tanggal 24 Agustus 1948 sebagai gereja yang dewasa yang kemudian tidak lagi disebut sebagai Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee tetapi diganti dengan menggunakan bahasa Indonesia sehingga disebut sebagai Gereja Kristen Indonesia Jayengan.
III. Pendewasaan
Sesuai dengan peraturan gereja yang ada pada masa itu, maka gereja baru dianggap mulai berdiri jika sudah didewasakan. Pendewasaan itu sendiri baru dapat diakui ditandai dengan adanya Majelis Gereja. Maka pada tanggal 24 Agustus 1948, gereja cabang milik Sangkrah yang terletak di daerah Jayengan ini didewasakan oleh gereja induknya yaitu GKI Sangkrah Solo dengan persetujuan Klasis Yogya. Adapun peneguhan Majelis Gereja yang pertama pada waktu itu peneguhannya dilayani oleh Pendeta The Tjiauw Bian.
Karena telah menjadi sebuah gereja yang dewasa maka pada persidangan Klasis Yogya IX di Semarang yang diselenggarakan pada tanggal 27 – 29 Maret 1948, maka untuk pertama kalinya utusan gereja Jayengan dapat menghadiri acara persidangan tersebut. Majelis yang diutus untuk mengikuti persidangan pada waktu itu adalah Sdr. Yo Kiem Hok dan Sdr. Tjioe Boen Yang. Dalam persidangan tersebut gereja Jayengan diterima sebagai anggota Klasis Yogya dan hal itu menjadi sebuah kesukaan yang besar terutama karena perselisihan yang terjadi dalam gereja Solo bukan hanya dapat diselesaikan melainkan dapat diselesaikan secara gerejawi. Hal ini tentunya semakin membesarkan nama Tuhan Yesus Kristus sebagai Raja Gereja.
Sebuah gereja belumlah dapat dikatakan lengkap apabila belum mempunyai seorang pendeta yang dipercaya oleh Tuhan untuk menjadi hamba-Nya, untuk menggembalakan umat Tuhan. Oleh karena itu maka pada tanggal 3 Maret 1950, gereja Jayengan mengirimkan sebuah surat pemanggilan kepada Sdr. Tan Hok Sing yang pada saat itu sedang menjabat sebagai Guru Jemaat di gereja Yogyakarta (sekarang disebut sebagai GKI Ngupasan Yogyakarta). Surat pemanggilan tersebut mendapatkan respon yang positif sehingga pada tanggal 14 Juni 1950 Sdr. Tan Hok Sing mengirimkan surat jawaban yang menyatakan kesediaannya untuk melayani di gereja Jayengan. Lalu mulai bulan November 1950, Sdr. Tan Hok Sing mulai bekerja sebagai pembantu pendeta gereja Jayengan selama kurang lebih 7 bulan hingga pada tanggal 27 Juni 1951 ditahbiskan sebagai pendeta oleh Pdt. The Tjiauw Bian. Adapun pentahbisan tersebut dilakukan setelah menyelesaikan dengan baik ujian Peremtoar di depan sidang Klasis Yogya. Kebaktian pentahbisan pendeta tersebut dilaksanakan di rumah Tn./Ny. Tan Ing Tjong yaitu di gedung tenun milik keluarga tersebut yang selama ini telah digunakan sebagai tempat kebaktian gereja Jayengan. Dengan demikan maka mulai saat itu ketiga jabatan gerejawi telah terpenuhi di gereja Jayengan yaitu: Pendeta, Tua-tua dan Diaken.
IV. Menempati Gedung Yang Baru
Dengan berkat Tuhan maka Tuhan yang begitu mengasihi jemaat-Nya yaitu gereja Jayengan ini telah menggerakkan hati keluarga Tn./Ny. Yo Kiem Hok untuk mempersembahkan sebidang tanah yang terletak di jalan Coyudan, untuk tempat mendirikan gedung gereja beserta pastorinya. Pada tahun 1951, rumah pastori dapat terlebih dahulu diselesaikan. Baru kemudian pada tanggal 7 Oktober 1953 diadakan upacara peletakan batu pertama gedung gereja di Coyudan, oleh Pdt. Tan Hok Sing yang juga dikenal dengan nama Pdt. Stefanus Tandiowidagdo. Perencanaan pembangunan gedung gereja tersebut disesuaikan kapasitasnya dengan jumlah anggota jemaat yang ada pada waktu itu yaitu anggota dewasa tercatat sebanyak 228 orang dan kebaktian hari Minggu diselenggarakan hanya 2 kali, pagi dan sore dengan rata-rata pengunjung kebaktian pagi 150 orang dan sore 45 orang. Pembangunan tersebut memerlukan waktu kira-kira 13 bulan sehingga telah dapat diresmikan penggunaannya pada tanggal 11 November 1954. Mulai saat itu kebaktian diadakan di gedung yang baru di jalan Coyudan. Nama gereja Jayengan mulai tidak digunakan lagi melainkan diganti dengan nama baru sesuai letak gedung gereja yang baru yaitu Gereja Kristen Indonesia Coyudan (GKI Coyudan). Nama-nama GKI menyesuaikan nama jalan di mana gedung gereja tersebut berada.